Minggu, 04 November 2012

PERANG BUBAT

Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada abad ke-14, yaitu di masa pemerintahan raja Majapahit Hayam Wuruk. Perang terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Sunda. Sumber-sumber rujukan tertua mengenai adanya perang ini terutama adalah Serat Pararaton serta Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.


Rencana pernikahan

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.


Menurut catatan sejarah Pajajaran oleh Saleh Danasasmita serta Naskah Perang Bubat oleh Yoseph Iskandar, niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.

Alasan umum yang dapat diterima adalah Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.

Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.


Kesalah-pahaman
Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. Menurut Kidung Sundayana,[rujukan?] timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.

Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Gugurnya rombongan Sunda
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.


Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda. Raja Sunda beserta segenap pejabat kerajaan Sunda dapat didatangkan di Majapahit dan binasa di lapangan Bubat.

Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Tindakan ini mungkin diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatriya, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.


Akibat

Tradisi menyebutkan bahwa Hayam Wuruk meratapi kematian Dyah Pitaloka. Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya. Raja Hayam Wuruk kemudian menikahi sepupunya sendiri, Paduka Sori.


Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Ia dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri. Peristiwa yang penuh kemalangan ini pun menandai mulai turunnya karier Gajah Mada, karena kemudian Hayam Wuruk menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura (kini Probolinggo). Meskipun tindakan ini nampak sebagai penganugerahan, tindakan ini dapat ditafsirkan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk pensiun, karena tanah ini letaknya jauh dari ibu kota Majapahit sehingga Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari politik kenegaraan istana Majapahit. Meskipun demikian, menurut Negarakertagama Gajah Mada masih disebutkan nama dan jabatannya, sehingga ditafsirkan Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai akhir hayatnya (1364).


Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar kedua negara dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian, hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.[1] Pangeran Niskalawastu Kancana — adik Putri Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil — menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana. Kebijakannya antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.


Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki “Prabu Wangi” (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.


Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama “Gajah Mada” atau “Majapahit”. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.


Hal yang menarik antara lain, meskipun Bali sering kali dianggap sebagai pewaris kebudayaan Majapahit, masyarakat Bali sepertinya cenderung berpihak kepada kerajaan Sunda dalam hal ini, seperti terbukti dalam naskah Bali Kidung Sunda. Penghormatan dan kekaguman pihak Bali atas tindakan keluarga kerajaan Sunda yang dengan gagah berani menghadapi kematian, sangat mungkin karena kesesuaiannya dengan ajaran Hindu mengenai tata perilaku dan nilai-nilai kehormatan kasta ksatriya, bahwa kematian yang utama dan sempurna bagi seorang ksatriya adalah di ujung pedang di tengah medan laga. Nilai-nilai kepahlawanan dan keberanian ini mendapatkan sandingannya dalam kebudayaan Bali, yakni tradisi puputan, pertempuran hingga mati yang dilakukan kaum prianya, disusul ritual bunuh diri yang dilakukan kaum wanitanya. Mereka memilih mati mulia daripada menyerah, tetap hidup, tetapi menanggung malu, kehinaan dan kekalahan.


Cerita di atas merupakan salah satu dari cerita kelam dari sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Meski kita tidak tahu benar atau tidak ceritanya (karena kita tidak hidup di masa lampau, dan hanya berdasarkan buku dan informasi sejarawan, sedangkan sejarawan itu juga manusia bisa salah) dalam kenyataannya cerita ini menyebar di sebagian masyarakat dan menimbulkan sentimen antara satu suku dengan yang lainnya yang terasa hingga kini. Indonesia adalah negara yang didirikan di atas negara-negara yang sudah ada. Maksudnya sebelum bernama NKRI di wilayah nusantara ini sudah ada konsep-konsep negara. Ada negara Jawa, Negara Sunda, Negara Sriwijaya, Negara Ternate, Bali, Kutai dan lain-lainnya. Hubungan negara-negara yang ada di masa lampau itu tidak selalu berlangsung harmonis kadangkalanya seperti cerita di atas. Dan akibat dari cerita tersebut masih bisa kita lihat hingga sekarang. Ada istilah Tabu jika pernikahan berlangsung antara suku Sunda dan Jawa. Sungguh ironi di negara yang menganut Islam terbesar di dunia ini, masih ada hal tabu seperti demikian. Dalam Islam tidak mengatur untuk menjadi pasangan hidup haruslah berasal dari suku mana. Yang terpenting adalah memiliki keimanan dan ketakwaan terhadap Allah untuk sama-sama membangun bahtera rumah tangga yang sakinah, mawadah warahmah. Lagi pula di Al Quran disebutkan bahwasanya manusia itu diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa tak lain untuk saling mengenal. Namun dalam prakteknya?

Saya tidak bermaksud untuk mengungkit masalah SARA, namun menyajikan permasalahannya yang diharapkan bisa kita perhatikan dan cari solusinya bersama. Menunjukkan pada bagian mana luka itu agar bisa kita obati bersama. Bagaimana kita mau mencari solusi kalau masalahnya tidak tahu.

Hal seperti ini bisa dilihat sebagai bahaya laten yang mengancam persatuan bersama. Selama ini kita terlalu berfokus pada isu tentang komunisme yang dijadikan sebagai bahaya laten. Bahasa yang cukup populer pada masa orde baru, "bahaya laten". Namun sebetulnya ada bahaya laten lain yang sepatutnya diperhatikan juga yakni sentimen antar etnis yang salah satunya disebabkan oleh kejadian yang terjadi di masa lampau. Selain cerita di atas ada juga cerita tentang ekspedisi Pamalayu yakni penyerangan kerajaan Sriwijaya di Sumatera oleh Kertanegara dari Singosari yang ada di Jawa. Ini sedikit banyak menimbulkan sentimen juga pada sebagian masyarakat yang terlibat terutama yang menjadi korban penyerangan. Bukan saja pada zaman kerajaan pada zaman sesudah kemerdekaan bisa kita amati perilaku superior atas etnik tertentu kepada etnik lainnya di Indonesia.

Beberapa kebijakan Soeharto terhadap aceh di masa lampau telah membuat luka sebagian orang Aceh yang memunculkan sentimentisme beberapa orang Aceh pada orang Jawa. Juga pada masyarakat Papua yang selama orde baru tersisihkan, menimbulkan benih "sakit hati" yang membuat konflik di Papua hingga kini belum selesai.

Kita adalah negara besar, hampir 250 juta jiwa penduduk di Indonesia. Namun ini mengkhawatirkan, tidak menutup kemungkinan kita akan menjadi negara yang kecil-kecil jika luka seperti ini terus dibiarkan. Memang pada masa kini para etnik yang terlibat perseteruan di masa lampau sudah membaur dalam kerja sama yang lebih luas seperti urusan kerja di kantor misalnya. Namun berapa banyak orang yang memiliki kesempatan untuk dapat berinteraksi dengan orang dari suku lainnya yang seyogyanya dapat menumbuhkan rasa saling pengertian satu sama lain. Sebagian besar mungkin banyak yang tinggal di daerah, hanya hidup dengan sesama suku dan tentunya masih diselimuti cerita mitos-mitos lama.

Terbayangkah jika suatu saat kita melakukan perang dengan negara yang armadanya lebih kuat dari kita. Karena angkatan laut kita lemah, angkatan laut musuh akan menempatkan kapal-kapal besarnya di beberapa tempat sehingga membelah Indonesia menjadi beberapa bagian Barat, Tengah dan Timur. Karena isolasi yang dilakukan kapal musuh di perairan ini orang Indonesia dari barat tidak bisa saling berhubungan dengan Tengah dan Tengah tak bisa berhubungan dengan Timur. Lalu tentara musuh memecah belah suku-suku yang ada, mereka merekrut tentara dari orang kita dengan menumbuhkan sentimen-sentimen masa lalu. Pengalaman buruk penjajahan pada zaman Belanda akan terulan, bahkan mungkin bisa lebih parah.

Pendidikan memiliki peranan penting di sini terutama pendidikan formal seperti sekolah atau universitas. Karena pendidikan di sekolah itu bersifat nasional, bahasa yang digunakan Indonesia, seragamnya sama, para pengajarnya adalah abdi negara, setiap senin pun ada upacara bendera merah putih. Hal ini untuk mengimbangi pendidikan yang bersifat kedaerahan dalam lingkungan keluarga. Namun sayang, berapa banyak orang yang mampu bersekolah. Selain itu, pengajar yang diharapkan mampu menjadi agen penyampai cita-cita luhur mencerdaskan bangsa malah melakukan pembodohan. Sebagian pengajar yang berasal dari suku yang menjadi korban tragedi di masa lampau terkadang ikut-ikutan menularkan rasa sentimen kesukuan ini. Di sisi lain juga tak mau kalah, guru yang berasal dari suku yang menjadi pelaku tragedi di masa lampau malah menceritakan bahwa sukunya itu superior dibanding yang lainnya. Sepengalaman saya, ini tidak terjadi pada pengajar di sekolah dasar melainkan juga pada tingkat universitas. Di sesalkan memang bahwa orang terpelajar sekalipun belum mampu lepas dari yang namanya sukuisme. Tidak hanya tokoh pendidik, tokoh agama pun kadang ada yang ikut-ikutan menumbuhkan sentimentisme suku ini. Hmmmm...

Memang, perlu ada sikap jiwa besar dari suku-suku yang menjadi korban tragedi di masa lampau, tidak bersifat dendam dan saling mengasihi sebagaimana diajarkan oleh agama. Tapi rasanya tidak fair juga jika hanya kepada suku yang menjadi korban saja diminta seperti itu. Di sisi lain suku yang menjadi pelaku di masa lampau pun harus menyadari, bahwa ini bangsa yang majemuk. Tidak sepantasnya merasa superior terhadap yang lainnya sekalipun lebih mayoritas jumlahnya. Tentunya hal ini dapat kita mulai dari diri kita masing-masing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar